top of page

Unit St. Arnoldus Janssen Nitapleat Gelar Peluncuran Buku Terbaru Pater Fredy Sebho, SVD



Ledalero - Unit St. Arnoldus Janssen Nitapleat menggelar peluncuran buku terbaru dari Pater Fredy Sebho, SVD., pada Jumat (14/03/2025). Buku berjudul "Mengemas Perih Menjahit Rindu" tersebut merupakan bukunya yang kesepuluh. Kegiatan peluncuran buku ini dihadiri oleh beberapa tamu undangan, antara lain, Direktur Penerbit Ledalero, Pater Baltasar Rengga Ado, SVD., beberapa mahasiswa IFTK Ledalero, dan segenap anggota Unit Nitapleat.

Baca Juga:


Dalam penyampaiannya, Pater Fredy merasa terpacu dalam menulis ketika pada suatu kesempatan berbincang dengan Pater Hendrik Dori Wuwur, SVD., pada November 2013 silam.


“Jika engkau datang ke sini sebagai dosen dan belum menghasilkan sebuah buku, engkau adalah dosen yang bodoh,” kata imam asal Kalabumbu, Waerana, mengulangi perkataan Pater Hendrik saat itu.  




Pernyataan Pater Hendrik tersebut, bagi Pater Fredy, adalah penyala api semangat menulis dan gairah akademiknya. Sejak itu, ia pun berkomitmen untuk terus membaca dan menulis. Tulisan pertamanya muncul di Flores Pos dengan judul “Erotisme Eror”. Pater Fredy juga telah menghasilkan beberapa buku seperti, "Monologion" (2016), “Estetika Tubuh, Seni Menjelajah Diri” (2017), “Namaku Eleosa, Wanita Tegar Mewarat Lara” (2017), “Moral Samaritan, Dari kenisah Menuju Tepi Jalan” (2018), “Arkeologi Kebisuan, Saat Kata Butuh Istirahat” (2019), “Debur Ombak, Riuh Gelombang Tentang Romo Sensi Mandaru” (2019), “Luka, Tentang Ingatan yang Hampir Lupa” (2020), “Maaf, Antara Ikhtisar dan Iktiar” (2021), "Biar Susah Sungguh" (2022), dan buku terbarunya tahun ini, “Mengemas Perih Menjahit Rindu”. Semuanya diterbitkan oleh Penerbit Ledalero.

 Baca Juga:


Sublimasi Diri

Bagi Pater Fredy, menulis merupakan sebuah tindakan pensublimasian diri. Dengan menulis, seseorang dapat menuangkan imajinasi dan mengendapkan pengalaman-pengalaman konkret ke dalam teks.

 

“Menulis buku tanpa sublimasi diri ke dalam teks yang ditulis, menurut saya, adalah omong kosong. Adalah sebuah kemunafikan. Makanya saya harus mengatakan dengan jujur, bahwa buku-buku yang saya tulis adalah pensublimasian diri saya, seorang imam yang hidup dengan kaul-kaul,” tegas penulis yang sudah menuliskan dua puluhan prolog dan epilog dalam beberapa buku kenalannya.




Terinspirasi dari penulis “The Old Man and The Sea”, Ernest Hemingway, kata alumus Seminari Todabelu Mataloko itu bahwa kepandaian menulis dipupuk dari keseriusan membaca banyak hal.  Seseorang yang telah membaca dan menuliskan sesuatu mesti menghayati karyanya seolah-olah dia menjadi pelaku dan terlibat di dalam tulisan-tulisan tersebut. Artinya, menulis merupakan tindakan meniru. Bahwa seseorang yang pandai menulis pasti melibatkan disiplin membaca yang ketat. Dan bagi Pater Fredy, hal itu mesti berawal dari kebetahan di dalam kamar. Dengan begitu, proses pensublimasian diri ke dalam teks dapat berjalan dengan sempurna.


“Saya sengaja menulis buku karena saya adalah orang yang betah di kamar. Saya merasa rugi kalau kebetahan saya di kamar tidak menghasilkan buku sebab saya adalah seorang dosen dan salah satu ciri khas saya adalah publikasi ilmiah,” terang Ef-Es, sapaan akrab dari para frater di unitnya.

 

Isi Buku

Pater Fredy mengakui dengan jujur bahwa buku kesepuluhnya kali ini merupakan buku yang paling cepat diselesaikannya. Dari lima ratus eksemplar, kini tertinggal seratus lima puluh eksemplar. Beberapa di antaranya pun sudah dipesan. Namun, bagi Pater Fredy, ini merupakan bentuk apresiasi nyata dari para pembaca atas proses kreatifnya selama ini. Dan dia sangat berterima kasih atas hal tersebut.


“Mengemas Perih Menjahit Rindu” merupakan buku karya sastra yang mengisahkan calon imam yang berpacaran, imam yang pernah memiliki mantan, yang diputus sebelah pihak, atau singkatnya pengalaman-pengalaman kelukaan seseorang. Katanya, beberapa kisah di dalamnya ialah hasil proses kerja-kerja imajinatif, di samping pengalaman-pengalaman orang yang pernah dibagikan kepadanya. Sebagaimana buku sastra pada umumnya, beberapa nama, tempat, waktu, atau kalimat yang termaktub di dalamnya bersifat multitafsir.


“Supaya bisa memancing gairah pembaca, harus ada diksi untuk mengumpan imajinasi orang. Di novel ini saya mengumpan imajinasi orang. Tentu pembaca akan berpikir ke ‘daerah situ’ yang lain. Padahal, yang saya maksudkan dengan ‘daerah situ’ adalah mata. Rindu sering kali membuat orang meneteskan air mata.”




Bagi Pater Fredy, sastra melibatkan dua unsur penting. Pertama adalah keinsyafan estetis. Artinya, permainan diksi mesti memancing gairah pembaca untuk membaca buku yang bersangkutan. Baginya, karya sastra yang berisi curhatan tanpa permainan diksi dan bersifat datar-datar saja tak akan mampu memantik gairah pembaca. Kedua adalah kesadaran biografis. Artinya, menulis sastra mesti membangkitkan daya dan semangat hidup seseorang. Meski di luar sana tak banyak yang menyukai sastra, bagi imam tamatan Universitas Pontificial Roma ini, sastra merupakan cara pensublimasian dirinya yang terbaik dan dia sukai.

Baca Juga:

 

Luka, Rindu, dan Meditasi

Di akhir diskusi, selaku Moderator Seksi Akademik dan Publikasi Unit St. Arnoldus Janssen Nitapleat, Pater Ve Nahak, SVD., menyampaikan terima kasih kepada Pater Fredy Sebho, SVD., yang telah menghasilkan buku kesepuluhnya dan bersedia meluncurkan bukunya di Nitapleat. Bagi imam asal Malaka tersebut, peluncuran buku Pater Fredy sekali lagi mengingatkan Nitapleat sebagai spirit awal dan “dapur pertama” pembentukan Lembaga Penerbitan Ledalero yang dikerjakan oleh Pater Kirchberger, SVD., dan Pak Josi.


Terdapat tiga hal penting yang disampaikan Pater Ve Nahak, SVD. Pertama, luka. Terkesan oleh beberapa baris terakhir di halaman pertama, baginya, Fredy Sebho adalah penulis yang terobsesi pada luka secara positif. Sebagai dosen Kitab Suci di IFTK Ledalero, Pater Ve Nahak membedakan luka yang direfleksikan Pater Fredy Sebho dengan pengalaman luka di dalam injil Yohanes dan Lukas. Dalam Injil Yohanes, usai kebangkitan awal Yesus, perjumpaan Yesus dan Maria Magdalena memungkinkan persentuhan dengan luka Yesus yang masih basah tak bakal terjadi. Artinya, untuk mengobati luka yang masih basah, seseorang terlebih dahulu harus mengambil jarak. Sedangkan dalam Injil Lukas, perjumpaan Yesus dan Thomas memungkinkan terjadi persentuhan atas luka karena luka-luka Yesus sudah kering. Tapi Thomas, dengan melihat saja, dia sudah percaya.




“Berbeda dengan dua pengalaman luka di atas, sentuhan lain terkait luka yang hemat saya direfleksikan dengan baik oleh Pater Fredy adalah tentang Kisah Orang Samaria yang Baik hati. Seorang Samaria, ketika melihat ada yang tersungkur, terluka, dia pergi ke sana dan merawat luka-luka.”


Kedua, tentang rindu. Mengutip kalimat terakhir halaman ketiga dan “Amsal 30” dalam buku Pater Fredy, menurut Pater Ve, kerinduan adalah penyakit seretak pengalaman yang membuat semua orang menjadi setara tanpa sekat.


“Apa yang ‘lebih miskin dari rindu’?” Tanya Pater Ve sembari mengutip “Surat Untuk Tuhan” karya Leo Kleden. “Itu artinya, di hadapan kerinduan, kita semua setara. Ada demokratisasi di dalam kerinduan. Jadi kalau kita merindukan sesuatu dengan sungguh, di situ, kita semua, entah kaya atau miskin, semua orang punya perasaan yang sama. Kerinduan itu adalah satu bentuk kemiskinan.”


Ketiga, tindakan menulis adalah meditasi yang paling orisinal. Hemat Pater Ve, kegiatan menulis menuntut seseorang untuk masuk atau fokus pada momen saat ini. Dalam menulis, seseorang mesti merefleksikan dahulu kata-kata yang akan dia pilih.


“Menulis adalah salah satu bentuk meditasi terbaik karena ketika menulis seseorang mesti bergumul serius dengan bahasa. Dalam menulis orang dituntut untuk berkonsentrasi pada saat sekarang," tegasnya.


(Penulis: Fr. Randy Laja,SVD)  

 
 
 

Comments


VISITOR 

Seminari Tinggi St. Paulus Ledalero

average rating is 3 out of 5, based on 150 votes, Penilaian produk
bottom of page