top of page

Absurditas dan Krisis Kebebasan: Membaca Albert Camus



Oleh Arief Tandang



“Should I kill myself, or have a cup of ceffee?”

-Albert Camus-

Krisis senantiasa bermunculan seiring pesatnya peradaban dunia. Kita pun bergumul dengan krisis itu, serentak – dengan banyak pihak lain – berjuang keluar darinya. Hari-hari ini misalnya, dalam skala global masih mem-booming krisis multidimensioanl, pandemi Covid-19. Kekacauan bisa kita temukan pada hampir semua lini kehidupan, mulai dari “kekacauan” ekonomi, sosio-politik, hingga sosio-kultural.


Kita memulainya dengan keadaan darurat nasioanl; anjloknya daya ekonomi secara masif jelang akhir 2019. Selanjutnya, pola-pola lama perlahan dihentikan dan mau tidak mau mulai dengan yang sama sekali baru.


Bersama-sama kita alami kehidupan sosial politik yang kian dibuntut keadaan genting; mendesak pemangku kepentingan mengambil langkah-langkah terjal dan tidak biasa, lantas memaksakan semuanya kepada rakyat. Itu semua masih berlangsung sampai hari ini.


Parahnya lagi, kita semacam didesak menyerap “nilai-nilai baru” hasil prakarsa pandemi kali ini. Benturan nilai-nilai (values clash) pun tidak terhindarkan sama sekali. Titik tolak ini kemudian menggiring kita pada krisis bersama; sama-sama menanggung susahnya; atau dapat juga “menanggung susahnya orang lain” – karena ada pula kelompok masyarakat yang tidak terpapar pandemi misalnya, tetapi ikut menanggung penderitaan – semacam empati atau lebih dikenal sebagai solidaritas pandemi.


Sekurang-kurangnya peristiwa ini ialah gambaran absurditas kehidupan yang paling tidak masih kita gumuli sampai hari ini. Dunia dengan wabah yang ia bawa serta hari ini adalah gambaran betapa absurdnya hidup; ia tidak meminta izinan kita atau menunggu kesepakatan kita, katakanlah, untuk menentukan kondisi yang paling kita harapkan dan kita sukai.


Dunia (realitas) menampilkan diri secara berbeda dan senantiasa di luar dari dugaan kita. Pada hakikatnya dunia ini absurd, kata Camus. Dan kita terus bergumul dengannya, demikian Camus, yang serentak membuat kita terkungkung dalam pusarannya, dan kita pun menjadi tidak begitu bebas.


Absurditas Camus dan Krisis Kebebasan


Salah satu konsep penting dalam polemik filosofis Albert Camus[1] ialah absurditas. Konsep ini lahir setelah ia bergumul dengan banyak penderitaan yang ia sendiri alami. Camus mengonstruksi pemikirannya dari situasi kehidupan (sosial) yang traumatis dan dari pengalaman personalnya; ia yang sakit-sakitan.


Dalam pidatonya ketika mendapat Nobel Prize for Literature pada tahun 1957, Camus menulis dengan kritis dan menurut saya cukup reflektif. Ia menulis begini:

... With what feelings (can I) accept this honor at a time when other writer in Europe… are condemned to silence, and even at a time when the country of (my) birth is going through unending misery?[2]


Camus dengan nada sinis yang reflektif hendak menggugat massa pada waktu itu. Ia justru begitu sulit mengekspresikan perasaannya ketika pada saat yang sama teman-teman penulis yang lain di seantero Eropa dibungkam.


Di negara tempat kelahirannya pun masih dilanda penderitaan yang ia gambarkan seperti tiada akhir (unending misery). Kata-katanya sesungguhnya menggugat publik dan negara yang memberi penghargaan kepada penulis di tengah pembungkaman para penulis yang lain.


Camus begulat dengan situasi itu. Ia berhadapan dengan sebuah kenyataan yang “kabur”; sebuah realitas yang baginya tiada lagi bermakna.


Gambaran absurditas sebetulnya dibakukan melalui sebuah karya fiksi “The Myth of Sisyphus”; sebuah novel yang menggambarkan mitologi Yunani. Sisifus (Sisyphus) adalah putra raja Aeolus, yang memerintah wilayah Thessaly dan Enarete serta mendirikan Ephyra yang juga dikenal sebagai Korintus.


Dikisahkan, karena menyalahgunakan kekuasaan dan melakukan banyak kezaliman, Sisyphus dihukum masuk neraka. Ia kemudian menipu para dewa; meminta izin pergi ke bumi dengan janji akan kembali.


Akan tetapi, ia justru tak mau kembali setelah melihat wajah bumi, meminum airnya, memandang matahari, dan menikmatinya. Ia tak kembali ke neraka. Itulah kejahatan Sisyphus yang paling berat di mata para dewa: “hinaannya kepada para dewa, kebenciannya terhadap kematian, dan gairahnya akan kehidupan”.


Tak mau ditipu kedua kalinya, para dewa menghukum Sisyphus tanpa ampun. Ia dihukum mendorong batu ke puncak gunung dan setelah tiba di puncak batu terguling kembali ke bawah.


Begitu seterusnya dan Sisyphus senantiasa mengulangnya. Menariknya, Sisyphus kelihatan tidak putus asa, ia malah tersenyum. Bayangkan, suatu penderitaan yang sia-sia harus ditanggapi dengan senyum.


Demikianlah ringkasan absurditas kehidupan digambarkan Camus. Sisyphus yang mengulang “pekerjaan” sia-sia adalah tampilan absurdnya hidup. Kita justru seringkali seperti Sisyphus; menyelesaikan suatu persolan dengan cara-cara primitif tanpa pernah berpikir menemukan suatu metode yang baru. Kita hanya kian bergulat dengan kesia-siaan.


Justru pada kondisi ini kita sedang tidak bebas; dibelenggu pola pikir yang jelas-jelas membuat kita dikekang, lantas menyiksa diri. Kita menjadi tidak bebas. Belenggu ini kemudian menciptakan krisis dalam diri kita sendiri.


Camus kemudian menggambarkan yang absurd sebagai suatu kondisi kabur atau tidak jelas antara ideal-ideal dengan kenyataan. “Apa yang absurd”, bagi Camus, “ialah konfrontasi antara (dunia) yang irasional dan kerinduan hebat akan kejelasan yang panggilannya menggema di kedalaman hati manusia.”[3]


Dunia ini, menurut Camus, tidak serapi yang kita pikirkan. Hanya saja kita selalu berusaha menjelaskan dunia secara mutlak, secara rapi, dan pasti. Dunia tidak sesederhana konsep-konsep para filsuf. Ia terdiri atas realitas-realitas yang sulit kita pahami, dan kita berjuang memaknainya, tetapi yang akan terjadi tetap di luar dari konsep yang kita konstruksikan.


Absurd (dari bahasa Latin, absurdus: tulis atau bodoh) tidak berarti “logically impossible”, namun lebih kepada “humanly impossible”: ia lebih mungkin digambarkan dengan suatu keadaan kemanusiaan kita di hadapan kenyataan dunia, dibanding sebuah pendangkalan logis.


Aliran filsafat absurdisme kemudian dimengerti sebagai usaha manusia menemukan suatu makna, tetapi akan gagal, sulit kita temukan. Ia selalu kelihatan baik dan rapi dalam konsep, namun selalu ada pengecualian-pengecualian. Dunia, seperti bola dalam sebuah permainan yang kita tidak pernah tahu dari mana ia akan datang dan kemana ia akan terlempar.


Camus sebenarnya begumul dengan banyak pemikiran filsafat sebelumnya dan berusaha menemukan suatu titik di mana ia bisa menemukan makna absolut yang dapat diraihnya.


Akan tetapi, pemikiran-pemikiran kritis yang ia peroleh justru membawanya kepada kekaburan makna yang membuatnya sampai pada titik absurditas kehidupan. Ia semacam dikungkung oleh dirinya sendiri dengan pemikiran padat para filsuf yang ia geluti.


Kehidupan, demikian Camus, memang tidak mempunyai arti. Tapi Camus tahu “bahwa sesuatu di dalamnya yang mengandung arti, dan sesuatu itu adalah manusia, karena hanya manusialah satu-satunya makhluk yang gigih-gigih mencari makna.”


Camus secara tegas menyatakan kekaburan/ketiadaan arti dari kehidupan itu sendiri tanpa diberi makna oleh manusia. Oleh karena itu, Camus kelihatan memberontak terhadap ketidakadilan yang turut berandil menciptakan krisis kebebasan.


Ia menulis: “Dengan demikian kehidupan ini sedikitnya memiliki kebenaran manusiawi, dan tugas kita adalah membuktikan kebenaran itu untuk melawan nasib. Dan tidak ada nilai pembenaran lain kecuali manusia, karena manusia harus diselamatkan kalau kita ingin menyelamatkan ide kita tentang kehidupan.”[4]


Di Hadapan Absurditas


Demikianlah Camus menggambarkan yang absurd dari sebuah kenyataan hidup. Kebebasan kemudian mengalami krisis ketika orang-orang bertahan terlalu lama dalam kehidupan yang absurd itu.


Orang menjadi tidak bebas menentukan sikap konkret karena dikungkung oleh pikiran dan perasaan yang menciptakan harapan-harapan kabur dan imajinasi abstrak. Di sinilah krisis itu menetas. Kenyamanan seseorang dalam dunia absurd ini kemudian membawanya pada dunia yang “itu-itu saja” yang justru menjerumuskan dia dalam kondisi hidup stagnan.


Menghadapi absurditas hidup, menurut Camus, sekurang-kurangnya ada tiga sikap (tanggapan) dari setiap orang.


Pertama, ada yang akan memilih lari dari kenyataan; lari dari eksistensi. Banyak orang akan menyerah dengan hidupnya. Sebagian dari mereka akan memilih bunuh diri (to commit suicide). Bagi Camus, suicide adalah pilihan para pengecut. Sesungguhnya masih banyak hal yang berharga dan perlu dimaknai dari hidup; jangan sekali-kali bunuh diri, kata Camus.


Kedua, orang cenderung mencari sandaran ketika mengalami nasib buruk dalam hidupnya. Kebanyakan orang lari kepada agama yang diyakini sebagai penenang dan tempat sandaran paling aman. Sikap ini Camus sebut sebagai “bunuh diri filosofis”; terbunuhnya akal sehat. Orang memilih pasrah secara total, menyangkal untuk berpikir rasional.


Ketiga, sikap penerimaan. Menurut Camus, kita perlu menerima absurditas sebagai suatu “valid solution”. Orang harus berani menghadapi kehidupan, berjuang melawan absurditas dan ketidakbermaknaan dengan cara memberi makna sendiri. Sikap terakhir inilah yang dianjurkan Camus.


Menurut absurdisme, manusia sepanjang sejarah berusaha untuk menemukan makna hidup. Pencarian ini biasanya berujung pada kemungkinan: pertama, hidup tidak bermakna, dan kedua, hidup memiliki tujuan yang berasal dari kekuatan yang lebih tinggi.


Bagi Camus, manusia dapat menciptakan makna dalam kehidupan mereka sendiri, yang mungkin tidak objektif, namun dapat membuat hidup itu berharga dan layak untuk diperjuangkan.


Camus justru berharap bahwa pemaknaan kita akan hidup mestinya tidak stagnan. Kalau kemarin kita diarahkan oleh prinsip tertentu, bisa saja kita mengubahnya apabila sudah tidak cukup cocok dengan hidup kita yang sekarang.


Jangan “mati” demi prinsip. Dengan begitu kita betul-betul menghargai diri kita sendiri termasuk menentukan “nasib”. Camus menulis: “I continue to believe that this world has no ultimate meaning. But I know that something in it has a meaning and that is man, because he is the only creature to insist on having one.” Dunia sendiri tidak menciptakan makna yang ultim dan final. Kita manusialah (masing-masing orang) yang menentukan makna-makna atau prinsip-prinsip hidup di dunia ini.


Seruan Kebebasan


Bagaimana memaknai hidup yang absurd? Bebaslah, jawab Camus. Jalan paling pendek bagi seseorang untuk bebas sepenuhnya ialah dengan menerima absurditas; menerima tanpa menyerah (acceptance without resignation).


Menerima adalah langkah pertama kepada kebebasan. Menerima (accept) kenyataan bahwa pandemi saat ini, misalnya, membuat kita kalang kabut dan dihadapkan dengan situasi yang tidak pernah kita harapkan. Tetapi kita sama sekali tidak boleh menyerah di hadapan ketidakpastian.


Bagi Camus, perlulah kita memaknai keadaan hari ini (suatu dunia yang tidak bebas) dengan cara kita masing-masing. Satu-satunya jalan untuk berhadapan dengan dunia yang tidak bebas adalah menjadi sepenuhnya bebas, sehingga keberadaanmu pada hakikatnya adalah tindakan pemberontakan.


Kebebasan tidak lain adalah kesempatan untuk menjadi lebih baik (freedom is nothing but a chance to be better). Kita mesti memberontak pada keadaan absurd melalui pemaknaan yang memang tidak mesti dipaksakan dari pihak luar selain diri kita (I rebel; I exist). Karena kebebasan itu secara substansial tidak dianjurkan dari luar, tetapi sedapat mungkin ditemukan oleh dan melalui pemaknaan kita akan sebuah realitas sebagaimana adanya.


Hal menarik, Camus menolak harapan. Harapan mengangankan masa depan, lantas hari ini terlewatkan. Baginya, sekali lagi, itu sia-sia. Menurut Camus, orang masih bisa hidup sambil menolak harapan-harapan. Harapan ini dipandang sebagai aksi pengecut untuk lari dari absurditas.


Tentu saja, pemahaman ini bisa diperdebatkan. Camus sesungguhnya mengajak kita untuk “hidup (sesuai) hari ini”; apa adanya hari ini; hidup dan tuntaskan hari ini. Tanpa harapan pun orang termotivasi untuk hidup sepenuhnya di setiap peristiwa.


Penundaan adalah sebentuk harapan, bahwa besok akan lebih baik, tapi kita lupa hari ini adalah yang terbaik. Bisa jadi besok akan lebih buruk dari yang kita harapkan. Mari tuntaskan hari ini, maknai sepenuhnya, dan bebaslah.*



[1] Albert Camus lahir di Mondovi (French Algeria) pada 7 November 1913. Ia menderita tuberculosis sejak kecil. Camus meninggal dunia pada usia 46 tahun dalam sebuah kecelakaan mobil. Bdk. Oliver Gloag, Albert Camus, A Very Short Introduction (New York: Oxford University Press, 2020), hlm. 38 dan 113. [2] Bdk. Albert Camus and Winston Churchill ed., Nobel Prize Library, (tanpa kota: CRM Publishing, 1971), hlm. 7. [3] Bdk. Faiz Fahrudin. “Albert Camus-Absurditas”. Ngaji Filsafat 224 Masjid Jendral Sudirman Yogyakarta. https://www.youtube.com/watch?v=UCRw1ZKwSLQ&t=711s, diakses pada 30 Januari 2021. [4] Bagian ini merupakan kutipan dari surat keempat yang ia tujukan kepada sahabatnya di Jerman. Ia menulis pada Juli 1944 dalam situsi kekejaman Nazi di Jerman. Bdk. Albert Camus, Krisis Kebebasan, penerj. Edhi Martono (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1990), hlm. 25.


Bacaan Penuntun:

Camus, Albert. The Myth of Sisiphus and Other Essays. Penerj. Justin O’Brien. New York, Vintage Book,

a Division of Random House, tanpa tahun.

---------. Krisis Kebebasan, penerj. Edhi Martono. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 1990.

---------. The Stranger. Translate by Stuart Gilbert. New York: Vintage Books, a Divison of Random

house. 1942.

Gloag, Oliver. Albert Camus, A Very Short Introduction. New York: Oxford University Press. 2020.

Journal of Camus Studies 2019. USA: Camus Society. 2020.

Journal of The Albert Camus Society. USA: Camus Society. 2010.

Faiz ,Fahrudin. “Albert Camus-Absurditas”. Ngaji Filsafat 224 Masjid Jendral Sudirman

Yogyakarta. 2019.https://www.youtube.com/watch?v=UCRw1ZKwSLQ&t=711s

638 views1 comment

Comments

Couldn’t Load Comments
It looks like there was a technical problem. Try reconnecting or refreshing the page.
bottom of page