Seminariledalro.org – Ini kisah dari negeri bergelar Tirai Bambu. Sebagian penduduk Indonesia mungkin lebih mengenalnya dengan nama Tiongkok. Sebagian lagi mungkin lebih akrab menyebutnya Cina. Julukan dan nama-nama tersebut tidak pernah salah untuk coba memotret dan menunjukkan Cina sebagai negara yang luas. Seperti nama panggilannya yang beranekaragam, Cina memiliki cakupan wilayah yang banyak. Kita mungkin akrab dengan beberapa nama kota pusat bisnis di Cina, seperti: Hong Kong, Taiwan, Shanghai, dan Beijing. Cina Sebenarnya masih punya ratusan ribu nama kota lainnya yang terkenal ke banyak belahan bumi. Cerita saya akan bertutur tentang kisah perjalanan panggilan selama berada di Macau.
Macau adalah salah satu dari sekian banyak jatung perbisnisan di Cina. Banyak studi yang menyebut Macau sebagai Las Vegas-nya Asia. Ada apa dengan Las Vegas? Las Vegas (arti: padang rumput), sebuah kota di negara bagian Nevada (USA), sering dikonotasikan dengan industri uang lewat kasino-kasinonya. Las Vegas pernah menjadi satu-satunya tujuan para raja judi dunia. Seiring dengan kemajuan ekonomi dan teknologi dunia yang semakin kuat terasa di Asia, Macau kini menjadi tujuan terbesar kedua setelah Las Vegas. Kata ‘Macau’ yang secara harafiah berarti ‘kuil untuk menyembah dewa Kuda,’ kini pun lebih dikonotasikan sebagai kota seribu kasino, pabriknya uang dan surganya hiburan bagi raja-raja judi dunia.
Tahun 2010, sebagai seorang frater OTP (Overseas Training Program), saya meninggalkan negara Indonesia tercinta menuju Hong Kong. Saat menumpang pesawat Cathay Pacific dari Jakarta menuju Hong Kong saya pun belum mengetahui sisi-sisi lain dari Hong Kong selain sebagai tempat di mana aktor laga Jacky Chan sering membuat film-film aktionnya. Ternyata Hong Kong lebih luar biasa dari itu. Selain kelihaiannya ber-kung fu, Hong Kong juga punya senyuman ramah seperti yang terpancar dari wajah-wajah pemilik mata sipit di bandara Internasional Hong Kong. Sekalipun bahasa yang meluncur dari mulut mereka tidak memberi pengertian apa-apa kepada pendengaran saya, senyuman yang saya dapatkan cukup kuat untuk menjadi kesimpulan bahwa saya diterima di kota mereka.
Seperti sebagian besar konfrater SVD yang bermisi di Hong Kong, saya mesti menjalani proses belajar bahasa Kantonese sebagai bagian dari Overseas Training Program. Dua tahun adalah waktu yang diberikan untuk menyelesaikan proses belajar bahasa. Perjumpaan awal dengan Kantonese diwarnai dengan seribu satu perasaan yang berkecamuk di dalam diri. Saya dihantui rasa heran: “koq gambar-gambar gak beraturan bisa menjadi tulisan?” Sekalipun tempat belajar saya adalah Chinese University of Hong Kong, kampus dengan sederetan prestasi besar di dunia, kelas Kantonese di hari pertama berjalan seperti suasana Taman Kanak-Kanak. Dua puluh lima murid bergerak tertatih-tatih. Merangkak. Saya berusaha membunyikan tiga kata Kantonese untuk pertama kalinya dalam hidup saya. Tiga kata Kantonese itu adalah nama Cina yang diberikan kepada semua murid yang belajar bahasa di sekolah mereka. Ada perasaan asing tapi bangga bisa menggunakan mulut sendiri untuk membunyikan irama-irama asing tersebut. Karakter-karakter Chinese yang demikian kompleks itu terasa memudarkan aura kecantikan yang terpancar dari wajah-wajah gadis-gadis Hong Kong. Semua yang tampak adalah gambar-gambar tak berbentuk atau kesukaran-kesukaran yang tak terpecahkan, demikian ujar seorang sahabat.
Dua tahun penuh cerita. Setelah menghabiskan proses belajar di kampus, saya terus berusaha mencari kesempatan agar bisa mendengar dan memakai perbendaharaan Kantonese saya yang masih minim di rumah atau pasar. Saya berusaha memakai setiap menit untuk berkomunikasi lewat mendengar atau berbicara. Teman-teman sekelas berusaha mendukung satu sama lain saat suka apalagi duka. Saat nilai ulangan bagus, kami akan beramai-ramai merayakannya di pantai. Saat duka, seperti saat disuruh menceritakan pengalaman paling lucu dalam hidup saya, dan sampai cerita itu selesai tidak seorangpun kelihatan terhibur. Beberapa teman memaksakan diri untuk tertawa demi menyelamatkan wajah saya yang begitu cepat berubah merah karena rasa malu. Di sinilah saya merasa betapa para sahabat sangat menentukan keberhasilan saya menaklukkan sulitnya belajar bahasa Kantonese.
Dua tahun pun berlalu. Saya tiba pada jenjang pembinaan berikutnya, yaitu menjalankan praktek pastoral di paroki. Perfek formasi menganjurkan saya untuk menghabiskan masa setahun praktek ministerial di paroki Fatima, Macau. Bersandar pada penyelenggaraan Ilahi, saya memberi “ya” kepada tawaran ini tanpa berpikir panjang. Di sinilah kisah Macau saya berawal.
Setelah menumpang ferry cepat selama paling kurang empat puluh lima menit dari Hong Kong, saya menjejakkan kaki untuk pertama kalinya di Macau. Sebuah awal yang baru lagi. Tempat baru, orang-orang baru dan suasana baru. Matahari sedang dalam rotasi hariannya menghilang ke arah barat, ketika pastor paroki saya yang berasal dari Mexico dan pastor pembantunya, yang berasal dari Polandia, menjemput saya di pelabuhan dan segera mengemudikan kendaraan menuju paroki. Aku perlahan-lahan menyadari satu hal: hilangnya mentari di kota Macau tidak berarti hari akan menjadi gelap. Ribuan jenis lampu, besar-kecil, beraneka warna, bergelantungan atau menjalar di jalanan segera mengambilalih fungsi matahari. Suasana kota seribu kasino inipun menjadi makin bergairah saat malam semakin larut. Seperti itulah kisah saya beberapa bulan pertama menjalankan praktek di paroki.
Saya di tempatkan di paroki Maria Fatima, Macau. Seperti Hong Kong, Macau adalah juga wilayah yang berbicara Kantonese. Setelah memperkenalkan diri kepada umat paroki, saya ditunjuk menjadi pembina beberapa kelompok persekutuan muda-mudi katolik di paroki. Proses mengakrabkan diri dengan bahasa Kantonese dimulai lagi. Saya menyadari betapa tidak cukupnya bahasa Kantonese yang telah saya pelajari di Hong Kong. Kelompok muda-mudi Katolik yang saya bimbing, berbalik membimbing saya untuk mengekspresikan diri secara akurat. Prinsipnya, kami bergerak bersama untuk maju. Beberapa bulan berlalu, saya pun dipercayaan untuk mengemban lebih banyak tugas bimbingan di paroki. Ada kelompok koor, kelas persiapan krisma, kelas Kitab Suci dan Putra-putri Altar. Selain tugas-tugas formal ini, saya juga berusaha membagi pengetahuan bermusik saya dengan sekelompok siswa-siswi SMP dan SMA yang ingin memaikan alat musik gitar. Alasan saya sederhana: Macau adalah pabriknya uang. Segala sesuatu mempunyai harganya sendiri-sendiri. Asalkan memiliki uang, apapun bisa diatur. Masalahnya adalah tidak semua orang memiliki uang dalam jumlah yang sama untuk kebutuhan yang sama, atau malah tidak memiliki uang yang cukup sama sekali. Untuk anak-anak bertalenta yang kurang beruntung inilah kelas gitar kami bentuk bersama.
Selain menjadi Las Vegas-nya Asia, Macau pun menjadi tempat di mana saya membulatkan tekad untuk mengikrarkan Kaul Kekal dan ditahbiskan menjadi seorang Diakon. Ada banyak orang dan banyak peristiwa yang menyertai keputusan-keputusan besar dalam hidup saya tersebut. Umat paroki, sahabat-sahabat di jalanan, teman-teman kelas selama menghabiskan lima tahun studi Teologi di Catholic University of Saint Joseph, Macau, para konfraters SVD, gelak-tawa dan tangisan, suka dan duka. Di antara gemerlapnya Macau, saya menjumpai sekelompok penduduk yang tetap mengalami hidup dalam gelap. Doa-doa mereka menguatkan langkah saya. Harapan-harapan mereka mendukung saya untuk setia pada pilihan menjadi pelayan bagi mereka semua. Orang-orang berharta yang selalu berkicau dari balik cell phone-nya, juga mendukung lewat cerita-cerita hidupnya yang miskin kebahagiaan dan penuh tekanan.